Periode 50-an merupakan periode kelanjutan dari periode 45. Munculnya periode 50-an ini dikarenakan pada saat itu telah memasuki tahun 1950. Namun situasi dan kondisinya masih terpuruk. Revolusi kemerdekaan yang mengalami kegagalan menyebabkan munculnya korupsi, manipulasi, dan kegiatan politik yang sewenang-wenang tanpa memperhatikan kepentingan bangsa dan negara. Akibat kejadian tersebut, maka ekonomi Indonesia terpuruk dan perhatian terhadap sastra mulai tersisih. Hal ini pula yang menyebabkan dunia kesusastraan di Indonesia tidak adanya angkatan dikarenakan tidak adanya cita-cita yang akan diperjuangkan.
Pada tahun 1955, di Amsterdam diselenggarakan simposium tentang sastra Indonesia. Soetarno (1976: 72) mengatakan bahwa dalam simposium itu telah tampil beberapa pembicara. Antara lain, Prof. Dr. Werthein, Sultan Takdir Alisyahbana, dan Asrul Sani. Pada simposium tersebut untuk pertama kalinya terdengar suara pembicara yang mengatakan bahwa krisis sastra disebabkan oleh gagalnya revolusi Indonesia. Selanjutnya, masalah krisis sastra mulai ramai dibicarakan setelah terbit majalah konfrontasi pada pertengahan tahun 1954. Penamaan krisis sastra dalam periode 50-an ini membuat adanya pro dan kontra. Para sastrawan yang pro dengan penamaan krisis satra adalah Sudjatmoko, sultan takdir alisyahbana, Ir. Dr. udin, Rifai Apin, dan asrul sani. Sedangkan yang kontra adalah Nugroho Noto Susanto, S.M. Ardan, Boeyoeng Saleh, Sitor Situmorang, Dan H.B. Jassin.
Para sastrawan yang pro dengan nama krisis sastra.
1. Sudjatmoko
Dalam esainya, dengan tegas ia mengatakan bahwa sastra Indonesia sedang mengalami krisis. Krisis itu terjadi karena adanya krisis kepemimpinan politik dan disebabkan oleh adanya kegiatan para sastrawan yang hanya menulis cerpen-cerpen kecil yang permasalahannya hanya berkisar pada psikologi perseorangan. Sedangkan roman-roman besar tidak dihasilkan dan kurangnya buku-buku yang terbit.
2. Sutan Ali Syahbana
Ia mengatakan bahwa masyarakat dan kebudayaan Indonesia terancam dari dua pihak, yaitu statisnya golongan tua dan tidak ada pertumbuhan yang dinamis dari golongan muda sehingga terjadi impasse pada masyarakat dari segi jasmani dan rohani.
3. Ir. Dr. Udin
Ia mengatakan bahwa zaman revolusi suara sastrawan hanya untuk melawan Belanda sehingga setelah merdeka mereka kehilangan tujuan maka muncul kemunduran kualitas dan kuantitas sastra.
4. Rifai Apin
Ia mengatakan bahwa keadaan krisis sastra sesungguhnya setelah meninggalnya Chairil Anwar sehingga menimbulkan kendornya ikatan antara penyair dan orang-orang enggan mengkonsumsi sastra, artinya terjadi pengasingan sastra.
5. Asrul Sani
Dia menyebutkan sebagai krisis sementara. Hal ini dinyatakan karena putusnya hubungan pedesaan dan perkotaan pada nilai-nilai yang benar.
Para sastrawan yang kontra terhadap penamaan krisis sastra meliputi.
1. Nugroho Notosusanto
Dia mengungkapkan bahwa istilah krisis atau impasse itu tidak benar. Krisis itu merupakan satu sikap pesimisme dari orang-orang tertentu.
2. Boeyoeng Saleh
Dia menolak pendapat Sudjatmoko bahwa krisis terjadi karena adanya jarak antara kebutuhan objektif rakyat Indonesia dan kenyataan sosial. Sebenarnya, tidak ada krisis sastra karena sastra Indonesia masih hidup subur.
3. H.B. Jassin
Ia beranggapan bahwa krisis terjadi karena ukurannya tidak nyata maka pada periode ini tidak ada krisis.
Pada periode 50-an telah lahir peristiwa sastra yang ditandai dengan lahirnya sastra majalah yang dinyatakan pertama kali oleh Nugroho Notosusanto dalam tulisannya yang berjudul Situasi 1945 yang dimuat dalam majalah Kompas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar